Tak Olleh Satos Ebuh, Etapok Bos
KRAKSAAN – Lima anak jalanan (anjal) diamankan Dinas Satpol PP Kabupaten Probolinggo, Selasa (5/3). Mereka diamankan lantaran mengamen di sekitar simpang empat Pasar Sore di Kelurahan Kraksaan Wetan, Kota Kraksaan.
Mereka adalah Keyla Yunia Kalista Oktaviani (20) asal Desa Karang Bendo Kecamatan Tukum Kabupaten Lumajang, Moh. Slamet (31) asal Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan, dan Faris Irsyad Hidayatullah (15) asal Kecamatan Singosari Malang. Dua anjal berikutnya adalah Abd Qodir Jailani (21) asal Kraksaan dan Jaka Sura (17) asal Kecamatan Gending.
Setelah diproses Satpol PP, kelima anjal itu langsung dilimpahkan ke Polsek Kraksaan. Oleh Polsek, kelima anjal itu akan diserahkan ke Polres Probolinggo. Kepala SPK Polsek Kraksaan Iptu Budi Harjo mengatakan, pelimpahan ke Polres dilakukan karena ada tindak kekerasan pada anak di bawah umur.
Kekerasan itu diduga dilakukan oleh Slamet terhadap Keyla. “Untuk yang perempuan itu (Keyla), akan kami antar pulang,” ungkapnya.
Keyla, satu-satunya perempuan yang diamankan kemarin mengaku mengamen karena ingin mencari teman. Ia mengaku mengalami tekanan mental karena masalah keluarga. “Engkok ngamen ghun terroh olleh kancah (Saya mengamen hanya ingin cari teman, red),” katanya.
Anak kelima dari 9 bersaudara ini mengungkapkan, ia mulai merasakan pahitnya dunia jalanan sejak broken home. Yakni ketika ia masih duduk di bangku kelas 1 SMK. “Tang eppa’ bi’ ibu’ pesah. Tang eppa’ kabin pole. Tang ibu’ kabin kiah pas noro’ lakenah (Bapak dan ibu saya cerai. Bapak nikah lagi. Ibu juga nikah lagi, lalu ikut suaminya, red),” katanya.
Sejak itulah, perempuan yang akrab dipanggil Keyla ini memilih hidup di jalanan. Sementara 8 saudaranya yang lain, ada yang sudah berkeluarga, ada pula yang tinggal bersama kakeknya.
“Engko’ mele keluar deri bungkoh. Ngamen ghebei nyareh pesse, gebei ngakan. Tedung yeh neng jelen. Kadheng ye mole ke bungkoh (Saya memilih keluar dari rumah. Mengamen untuk cari uang, buat makan. Tidur ya di jalan. Kadang pulang ke rumah, red),” ungkapnya.
Dari mengamen, dalam sehari Keyla hanya bisa mengumpulkan uang antara Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Kadang tidak mencapai jumlah itu. Dengan uang hasil mengamen itu, ia bisa memenuhi kebutuhan makan dan minum setiap hari.
“Ngamen man demman lah. Kadheng mon terro moliah, ye nurok bus se arah ke bungkoh. Neng bus sambih ngamen. Toron mon depan ke bungkoh (Ngamen di mana-mana. Kadang kalau ingin pulang, ikut bus ke arah rumah. Di bus sambil ngamen. Turun kalau sudah sampai rumah, red),” ujarnya.
Di antara 5 anjal itu, ada seorang yang ternyata menjadi bos. Ia adalah Moh. Slamet. Setiap hari, Keyla dan 3 temannya harus menyetor uang hasil mengamennya ke Moh. Slamet. Target per orang minimal Rp 100 ribu. Jika tidak sampai Rp 100 ribu, Keyla selalu mendapat perlakukan yang tidak baik dari Slamet. Tak tanggung-tanggung, hukuman yang diberikan Slamet pada Keyla itu berupa hukuman fisik.
“Epokol mon setoran tak depa’ target. Mon tak ecolhek, ye etapok. Tager tang matah ya’ kecek slajeh (Dipukul kalau setoran tak mencapai target. Kalau nggak mata dicongkel, ya dipukul. Ini sampai mata saya picek sebelah, red),” ungkap Keyla.
Mendapat tuduhan seperti itu, Moh. Slamet menyangkal. Ia mengaku tak pernah melakukan hal itu kepada Keyla. Slamet yang mengenal Keyla sekitar 4 bulan yang lalu, justru menganggap Keyla sebagaimana adik kandungnya sendiri.
“Mangan yo tak ke’i, le’ kurang opo tak ke’i. Nggak pernah aku ngelakoni ngono nang arek iku (Makan tak kasih, kalau kurang apa tak kasih. Nggak pernah saya memukul dia itu, red),” sergah Slamet. (yek/eem)