Flashmob Festival Jathilan di Laut Pasir Bromo
SUKAPURA – Ada yang menarik dari flashmob Festival Jathilan Bromo 2019. Pasalnya, video berdurasi 4 menit 12 detik tersebut lebih menonjolkan penari anak-anak asli suku Tengger. Tak ada yang mengira bahwa mereka adalah anak gunung yang tinggal di kawasan Bromo-Tengger-Semeru.
Salah satu pelaku wisata Sigit Pramono mengatakan, flashmob Festival Jathilan Bromo memang bukan yang pertama dibuat. Sebelumnya sudah pernah viral di dunia maya flashmob yang diluncurkan oleh Yogyakarta. Namun, flashmob ini menjadi terkesan sangat istimewa karena lokasi pengambilan gambarnya di Segara Wedi atau Laut Pasir, yaitu di latar depan Gunung Bromo yang sangat indah.
“Tengok saja remaja perempuan yang menari di barisan terdepan. Dia adalah Lisvianingrum, pelajar 14 tahun dari SMP Negeri 7 Sukapura, Probolinggo. Ada juga anak lelaki kelas 5 SD bernama Frandita Pudyas Lesmana. Tampilannya bak anak metropolitan. Rambut dikucir dengan anting-anting di telinga sebelah kiri,” ujar Sigit, Kamis (8/8).
Via dan Frandi akan tampil bersama 18 anak-anak lain dari SD Negeri Perbanas Ngadirejo, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. SD yang dimaksud sempat hancur oleh erupsi besar Gunung Bromo tahun 2010-2011 lalu. Kemudian, SD ini dibangun kembali oleh Asosiasi Perbankan Indonesia, Perbanas.
“Dalam rangka pembuatan flashmob Festival Jathilan Bromo, anak-anak itu dilatih selama sehari oleh Dr. KRT Kuswarsantyo Tjondrowaseso, seorang dosen Universitas Negeri Yogyakarta yang dikenal sebagai Doktor Jathilan,” jelasnya.
Sementara, menanggapi flashmob tersebut, Bupati Probolinggo Hj Puput Tantriana Sari mengaku sempat tidak percaya ketika melihatnya pertama kali. Awalnya, ia berpikir talent-talent yang ditampilkan adalah anak-anak sanggar tari dari daerah lain.
“Jujur, sebelumnya saya mengira anak-anak itu adalah murid Pak Santyo. Mereka cakep-cakep dan luwes menari jathilan. Setelah diberitahu bahwa mereka adalah warga asli Tengger, saya benar-benar sangat bangga,” ungkapnya.
Bupati Tantri mengatakan, Festival Jathilan Bromo merupakan pentas budaya tradisional, khususnya seni jatilan. Kegiatan ini digelar sebagai upaya untuk meningkatkan daya tarik kawasan wisata Bromo, yang selama ini sudah sangat dikenal sebagai destinasi wisata alam.
“Festival Jathilan Bromo diharapkan dapat melengkapi event-event lain. Seperti Upacara Kasada dan Eksotika Bromo, serta Jazz Gunung Bromo yang selama ini sudah digelar di kawasan wisata Bromo,” jelasnya.
Berbeda dengan Jazz Gunung Bromo yang dihelat setiap tahun, Festival Jathilan Bromo akan dipentaskan setiap bulan dengan jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya. Setelah diluncurkan pada 24 Agustus mendatang, gelaran berikutnya akan berlangsung tanggal 28 September, 19 Oktober, 9 November, dan 28 Desember. Sementara untuk Grand Final akan dilaksanakan pada Agustus 2020, di Laut Pasir Bromo.
“Pada pembukaan nanti, akan ditampilkan beberapa kelompok seni jathilan dalam format eksibisi. Mulai September, barulah menjadi format lomba atau kompetisi di antara kelompok-kelompok seni jathilan dari daerah-daerah di Indonesia. Kegiatan akan dipusatkan di Amfiteater Terbuka Bromo, Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Probolinggo,” bebernya.
Bupati menegaskan, kompetisi yang mewarnai Festival Jathilan Bromo menjadi lomba paling bergengsi. Sebab, panitia menyiapkan total hadiah berupa uang tunai sebesar Rp 100 juta. Hadiah itu akan diserahkan dalam bentuk dana pembinaan seni. Selain itu, penampil terbaik akan menerima Piala Menteri Pariwisata.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar Rizki Handayani menyatakan, Bromo sendiri adalah sebuah destinasi wisata gunung terindah dan mudah diakses nomor 3 di dunia. Pamor Bromo berada di bawah Gunung Olympus di Yunani dan Gunung Elbrus di Rusia.
“Gunung Bromo mengalahkan Fujiyama, Sinai, dan gunung-gunung terkenal lainnya di dunia. Festival Jathilan Bromo akan membuat nama Bromo semangkin terangkat. Bukan hanya sebagai wisata kelas dunia, tetapi sebagai destinasi prioritas yang masuk dalam 10 Bali Baru,” terangnya. (rul/iwy)