Diklat Pagar Nusa Genggong, Ambil Sabuk di Kuburan Dini Hari
PAJARAKAN – Ada yang menarik dari kegiatan diklat Pagar Nusa (PN) Komisariat Genggong Kecamatan Pajarakan, yang dilangsungkan di Desa Tambelang, Kecamatan Krucil, pada Sabtu-Minggu (27-28/7) lalu. Sejumlah 50 peserta diklat itu diuji keberaniannya untuk mengambil sabuk pendekar warna hijau di pemakaman umum. Dan tu dilakukan dini hari.
Diklat itu terhitung kali pertama diselenggarakan oleh Perguruan Pagar Nusa Komisariat Genggong, Pajarakan. Ada sejumlah 50 orang yang mengikuti diklat tersebut. Seluruhnya berstatus sebagai santri Ponpes Zainul Hasan (Zaha) Genggong. Mereka harus mengikuti diklat sebelum nanti menjadi pendekar dan masuk dalan keanggotaan silat Pagar Nusa.
Pada Sabtu (27/7) pagi, seluruh peserta berkumpul di halaman P5 Ponpes Zaha, untuk mempersiapkan kebutuhan dan kelengkapan sebelum berangkat. Selain mempersiapkan kebutuhan pribadi, mereka juga diminta untuk mempersiapkan mental. Sebab, nantinya, mereka akan menjalani tantangan yang sudah disiapkan.
Sekitar pukul 12.00 hari itu, para peserta berangkat menuju lokasi diklat di Desa Tambelang, Kecamatan Krucil. Beberapa panitia diklat nampaknya sudah mempersiapkan segalanya di lokasi. Dari makan, hingga tempat tidur panitia dan peserta. Seluruhnya, tidur di tendak berukuran 10×5 meter persegi. Hanya beralaskan tikar tipis saja.
Sampainya di lokasi, sekitar pukul 13.00 WIB, peserta mulai mengikuti agenda kegiatan yang sudah disiapkan matang oleh panitia. Untuk agenda awal, mereka diberikan sejumlah pemaparan tentang perguruan dan arti menjadi seorang pendekar. “Itu materi dasar untuk memupuk sikap dan jati diri peserta. Supaya setelah mahir nanti, tak sombong,” jelas Alfian Sifen sebagai ketua pelaksana diklat.
Usai pemaparan, peserta diminta untuk istirahatkan dan melakukan ibadah sholat. Kemudian, agenda berikutnya dilanjutkan, setelah melakukan sholat Isyak berjamaah. Agenda kali ini, tak mengasak otak lagi, melainkan menguji mental dan keberanian para peserta. Ujiannya ialah mengambil sabuk hijau di tengah kuburang umum satu persatu.

Para anggota Pagar Nusa mengikuti kegiatan diklat yang digelar di Desa Tambelang, Kecamatan Krucil, akhir pekan lalu. (Abdul Jalil/Koran Pantura)
“Mereka wajib ambil sabuk itu seorang diri. Jarak tempuhnya sekitar 1 kilometer dari lokasi diklat. Melewati hutan dan sawah tentunya. Tapi tanpa sepengetahuan mereka, panitia memantau dari kegelapan secara diam-diam. Khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan,” ujarnya, pria asal Bondowoso itu.
Setiap peserta diberi jarak waktu 15 menit dengan keberangkatan peserta sebelumnya. Mereka mencari sabuk itu tanpa dibantu alat penerang sedikitpun. Cukup bermodalkan keberanian dan petunjuk dari panitia. Tak sedikit dari mereka yang pulang dengan kondisi baju penuh lumpur, gara-gara nyebur sawah.
Ironisnya, ada salah satu peserta, Zainul Hasan yang lari terbirit-birit usai mengambil sabuk di kuburan. Itu setelah ia melihat sesosok makhluk halus tepat di hadapannya. “Saat dia lari, panitia yang memantau dari jauh langsung mengejarnya. Khawatir ia lari dan masuk ke tengah hutan,” tutur Sifen.
Kegiatan pengambilan sabuk itu berakhir hingga menjelang sholat subuh. Para peserta pun diminta sholat berjamaah dan istirahat hingga esok pagi. Mereka harus menyiapkan tenaga kembali, untuk agenda selanjutnya, yaitu bertarung satu lawan satu sesama peserta tanpa pengaman apapun.
“Tak perlu menang kalah. Yang penting berani melawan, sudah cukup. Karena itu persyaratan utama untuk mendapatkan sabuk hijau tanda pendekar pemula itu. Dengan memupuk mental dan keberanian peserta sejak dini, diharapkan bisa menjadi pendekar pemberani yang siap membela agama dan NKRI,” tutur Sekretaris Diklat Muzayyin.
Ia menjelaskan, pengambilan sabuk di kuburan itu untuk menguji keberanian mental dan batin setiap peserta. Sementara uni bertarung satu lawan satu, untuk menguji keberanian fisik mereka. “Kalau dhohir dan batin sudah siap, artinya mereka siap untuk membela agama dan negara nanti,” kata Muzayyin. (yek/iwy)