Peringkat 3 Terbanyak Pernikahan Dini
KRAKSAAN – Kabupaten Probolinggo peringkat ketiga tertinggi angka pernikahan dini di Jawa Timur. Posisi itu setelah Kabupaten Sampang dan Sumenep, Pulau Madura. Tercatat ada 4.404 kasus pernikahan dini di Kabupaten Probolinggo sepanjang tahun 2018 lalu.
Hal tersebut terungkap berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Probolinggo. Kepala Bidang Pengendalian Penduduk, Penyuluhan dan Penggerakan Herman Hidayat menguraikan, dari 9.976 pernikahan yang terjadi, 4.404 atau 44,15 persennya adalah pernikahan dini atau dibawah umur.
“Angka tersebut menempatkan kita sebagai daerah dengan jumlah pernikahan tertinggi nomor tiga se Jawa Timur setelah kabupaten Sampang dan Sumenep. Posisi itu tidak berubah dalam beberapa tahun terakhir,” ungkapnya, kemarin (26/2).
Fakta tersebut, lanjutnya, tak dapat dipungkiri karena memang angka pernikahan dini di Kabupaten Probolinggo masih sangat tinggi. Kalaupun mengalami kenaikan dan penurunan hanya berkisar pada angka 1 persen saja.
“Menurunkan 1 persen pun itu sangat sulit, kalau pola pikir masyarakat kita. Utamanya di daerah pedesaan masih menganggap pernikahan dini adalah suatu hal yang wajar. Utamanya di daerah-daerah yang dekat dengan pondok pesantren,” katanya.
Dijelaskannya pernikahan dini yang banyak terjadi itu mayoritas karena peranan orang tua yang mendorong anaknya untuk nikah muda. Keinginan orang tua tersebut, kata Herman, mau tidak mau harus dirturuti oleh anaknya, sehingga pernikahan dini pun mudah terjadi,
“Istilah bekalan atau tunangan itu sudah sangat jamak terjadi di desa-desa. Karena dalam istilah itu mengijinkan kedua pasangan untuk serumah bahkan sebelum lulus sekolah, maka untuk menghindari terjadinya perzinahan maka oleh kedua orang tua pernikahan dilakukan,” paparnya.
Padahal kata Herman, Pernikahan yang semacam itu justru memupus masa depan anak yang seharusnya mengecap pendidikan lebih tinggi pasca lulus dari sekolah. Bukannya lulus sekolah langsung menikah tanpa memiliki ketrampilan atau keahlian yang mendukung untuk membangun sebuah rumah tangga,
“Pernikahan ini berdasarkan klasifikasi jenis kelamin, banyak terjadi pada anak perempuan yang usianya di bawah 20 tahun. Jadi data yang kami sajikan itu hanya data untuk perempuannya saja tanpa melihat usia laki-lakinya,” katanya.
Disebutkan Herman, DPPKB kabupaten Probolinggo bukan tanpa upaya untuk membendung praktek pernikahan dini itu. Namun pihaknya kewalahan karena rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan anak. Kemudian budaya masyarakat desa yang jamak menikahkan anaknya di usia dini sebagai hal yang lumrah. Alasan lain, minimnya anggaran penanganan pernikahan dini juga dianggap salah satu faktor tak maksimalnya penurunan angka penrikahan dini yang tejadi.
“Anggaran untuk penanganan pernikahan dini yang meliputi kegiatan sosialisasi dan juga penanganan pernikahan dini kami dalam setahun hanya di jatah Rp 3 miliar saja. Kami akui nilai itu sangat kurang mengingat tingginya populasi dan luasnya wilayah kabupaten Probolinggo,” sebutnya.
Namun demikian setidaknya selama ini DPPKB Kabupaten Probolinggo, tutur Herman, telah sukses menjalankan program Kampung KB. Melalui cara itu, secara perlahan, pihaknya coba mengubah mindset masyarakat. Penyadaran dipenetrasikan pada tingkat keluarga dalam satu desa atau dusun.
“Alhamdulillah perlahan mulai ada hasil, setidaknya tahun lalu ada penurunan sekitar 1 persen jumlah pernikahan dini, dan itu hasil dari program kampung KB yang terdapat di 39 desa,” sebutnya. (tm/ra)