Sepekan Labelisasi, 800 KPM Mundur, Buruh Tani pun Menolak Disebut Miskin
PROBOLINGGO – Pemasangan stiker (labelisasi) miskin di rumah-rumah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) program PKH (Progam Keluarga Harapan) dan BNPT benar-benar member dampak positif. Di Kabupaten Probolinggo, dalam sepekan labelisasi, tercatat sebanyak 800 KPM telah mengundurkan diri dari status keluarga miskin.
Hal tersebut diungkapkan Koordinator PKH Kabupaten Probolinggo Fathurosi Amien. Ia menyatakan bahwa pelaksanaan program penempelan stiker atau labelisasi di rumah-rumah KPM di 24 kecamatan di Kabupaten Probolinggo sudah berlangsung sepekan.
Pihaknya telah mencatat sebanyak 800 KPM yang naik status menjadi graduasi mandiri. “Ada 800-an KPM yang secara sadar dan tanpa paksaan mengundurkan diri sebagai penerima program PKH,” ungkap Fathurosi Amien, Minggu (8/3).
Menurutnya, pengunduran diri ratusan KPM tersebut sedikit banyak merupakan efek dari adanya labelisasi keluarga miskin penerima bantuan sosial dari pemerintah. Namun demikian dia menyebut, secara program memang KPM yang mengundurkan diri tersebut sudah cukup mampu secara ekonomi.
“Jadi teknisnya, mereka yang mengundurkan diri langsung mengisi form surat pengunduran diri. Surat itu selalu dibawa oleh petugas dalam setiap kegiatan labelisasi,” jelasnya.
Disebutkan pula bahwa jatah KPM yang mengundurkan diri tersebut nantinya dapat dialihkan kepada keluarga miskin lainnya. Tentunya untuk pengalihan bantuan sosial tersebut harus melalui mekanisme yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Kami tidak bisa asal mengalihkan bantuan tersebut. Tentunya akan ada pendataan kembali bagi keluarga miskin untuk selanjutnya menjadi penerima manfaat program PKH maupun BPNT,” tandasnya.
Sementara itu, merasa malu disebut miskin, Miada (50), seorang buruh tani asal Dusun Gunggungan, Desa Klampok, Kecamatan Tongas mengundurkan diri sebagai penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Ia mengundurkan diri lantaran enggan rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu ditempeli stiker keluarga miskin.
“Saya tidak minta (bantuan sosial, red) lagi pak. Saya mau kerja sendiri. Berikan saja pada orang lain,” ujar Miada, saat rumahnya akan ditempeli stiker miskin oleh petugas PKH, Minggu (8/3) siang.
Dijelaskan bahwa penolakannya itu bukan karena dia sudah merasa cukup kaya. Akan tetapi dirinya tidak ingin menjadi beban bagi pemerintah dengan selalu memberikannya bantuan sosial tersebut. Menurutnya masih banyak yang jauh lebih berhak menerima dibanding dirinya yang hanya seorang buruh tani biasa. “Saya gaduh (ternak sapi dengan sistem bagi anakan) sapi saja wis,” ujarnya.
Kepala Dusun Gunggungan Desa Klampok Sudi menjelaskan penolakan Miada sebagai penerima PKH tanpa ada unsur paksaan. Justru hal tersebut cukup membuatnya kaget. Penerima PKH lainnya yang bisa dikatakan jauh lebih mampu dibanding Miada, tetapi bangga rumahnya ditempeli stiker miskin.
Sedangkan Miada justru menolak program bantuan sosial tersebut. “Itu inisiatifnya (Miada, red) sendiri. Tidak ada yang memaksa. Saya juga heran, katanya dia masih cukup sehat untuk bekerja dan cari uang sendiri daripada minta-minta,” kata Sudi.
Selain Miada, salah seorang KPM penerima PKH di kecamatan Bantaran yang enggan namanya disebut, mengaku keberatan dengan adanya program labelisasi KPM penerima bantuan sosial. Karena jika rumahnya ditempeli stiker keluarga miskin maka hal itu akan membuatnya merasa malu baik pada pihak keluarga dan tetangga kanan kirinya.
“Kalau saya pribadi akan merasa malu kalau stiker itu ditempel dirumah saya. Apalagi habis ini lebaran. Nanti dikira jajanan dan pakaianya hasil dari bantuan sosial. Lebih baik mundur saja karena saya masih mampu dan biar diberikan ke yang lain saja,” ujarnya. (tm/iwy)