Politik & Pemerintahan

Piutang Retribusi Pasar Gotong Royong Rp 3,8 Miliar


PROBOLINGGO – Pasar Gotong Royong di Kota Probolinggo memiliki piutang sekitar Rp 3,8 miliar ke Pemkot Probolinggo. Piutang sebanyak itu merupakan uang retribusi yang tidak tertagih mulai 2013 hingga tahun ini.

Karenanya, pemkot diminta menagih atau menyelesaikan piutang tersebut. Sebab,  setiap tahun menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Permintaan itu disampaikan Komisi II DPRD Kota Probolinggo saat Rapat Dengar Pendapat (RDP), Selasa (23/11) siang. RDP dihadiri Bagian Perekonomian, Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset (DPPKA) dan Dinas Koperasi Usaha Mikro Perdagangan dan Perindustrian (DKUPP) serta Dinas Perhubungan (Dishub).

Tak hanya ditagih, Komisi II yang diketuai Sibro Malisi berharap, DKUPP memberi surat peringatan kepada pedagang yang menempati kios atau bedak yang dimaksud. Jika tetap tidak membayar piutangnya, Komisi II merekomendasi agar kiosnya dikosongkan. “Kasih surat peringatan dulu. Kalau tetap enggak bayar, ya dikosongkan saja kiosnya. Sewakan ke pedagang lain,” pinta Sibro.

Langkah tegas harus diambil ekskutif, karena lanjut Sibro, masalah ini setiap tahun menjadi temuan BPK atau BPKP.  Lagipula, persoalan tersebut sudah berlangsung 8 tahun, mulai 2013 sampai sekarang belum tuntas.

“Kan piutangnya bisa diangsur, sesuai kesepakatan. Jangan ditagih sekaligus. Pasti mereka keberatan. Tanya berapa kesanggupan membayar piutangnya,” ujarnya.

Kepala DKUPP Fitriawati mengatakan, saat ini pihaknya tengah melakukan kajian dan apraisal (menentukan besaran taksiran). Sebagai pelaksanaannya, DKUPP menggandeng pihak ketiga yakni, Universitas Brawijaya (UB) Malang. “Kajiannya masih berlangsung. Makanya belum diketahui hasilnya,” tandasnya.

Begitu juga sistemnya, apakah tetap restribusi atau sewa, belum dibicarakan. Soal kesulitan menagih, Fitri menyebut, salah satu penyebabnya karena kios sudah beralih tangan. Penyewa kios pertama telah menjual atau menyewakan ke orang lain.

“Karena merasa sudah menyewa atau membeli, penghuni kios tidak mau bayar. Sedangkan yang lain menganggap retribusinya terlalu mahal,” ujarnya.

Dijelaskan, retribusi sesuai perda hanya Rp 400 per meter setiap hari. Jika dikalkulasi, retribusinya sekitar Rp 1,2 juta setiap bulan. “Sebagian besar tidak bayar piutang dan retribusinya. Kalau Indomaret membayar,” katanya.

Rano Cahyono, salah seorang pedagang yang menempati kios, mengiyakan tudingan tersebut. Dirinya juga memiliki tanggungan retribusi yang belum dibayar. “Kalau tidak salah kami punya 4 kios. Kami juga punya tanggungan restribusi yang belum dibayar,” terang Rano saat dikonfirmasi kemarin.

Mengapa tidak membayar? Apakah terlalu mahal? Mantan anggota DPRD Kota Probolinggo dari Partai Golkar ini menyebutkan, ekskutif dan legislative seenaknya menentukan restribusi. Mereka tidak kroscek lapangan kondisi dan situasi pasar. “Menentukan besaran retribusi jangan hanya hasil kunjungan kerja (kunker). Harus croscek lapangan,” tandasnya.

Rano bersama pedagang lainnya bersedia dan sanggup membayar kewajiban utang retribusinya. Namun, ia berharap pemkot mempertimbangkan kondisi saat ini. Dikatakan, di masa pandemi, pembeli sepi. “Kami bersedia membayar, tapi sesuaikan dengan kondisi kami saat ini,” harapnya.

Dalam kesempatan itu, Rano menambahkan kalau 4 kios yang ditempati berjualan  statusnya bukan sewa, tetapi membeli. Saat ditanya harga belinya, ia mengaku lupa. Tetapi  kemudian Rano menjawab kisaran Rp 100 juta per kios. “Saya bukan sewa, tapi  membeli. Ya, suratnya Hak Guna Bangunan,” katanya. (rul/iwy)


Bagikan Artikel