Pengembang Terhadang Perda RTRW Terbaru
PROBOLINGGO – Komisi III DPRD Kota Probolinggo melakukan mediasi terhadap pengembangan perumahan dengan sejumlah dinas terkait. Sebab, pengembang perumahan terhadang Perda nomor 1 tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2020 – 2040.
Dalam perda itu, pengembang belum mendapatkan izin karena lahan yang mereka beli justru masuk zona hijau atau dilarang, karena khusus untuk lahan pertanian. Kecuali jika lahan yang akan dibangun perumahan berada di zona kuning atau pemukiman.
Hal itu terungkap saat Komisi III DPRD Kota Probolinggo menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan pengembang perumahan yang terkendala izin karena melanggar perda RTRW. Dari pemkot, yang menghadiri rapat dengar pendapat itu adalah DPUPR Perkim, Bappeda, BPN dan sejumlah satker.
Dari pertemuan itu terungkap pengembang perumahan yang rencananya akan membangun di kawasan Ungup-Ungup, Kecamatan Kanigaran itu tidak bisa dilanjutkan lantaran berbenturan daengan Perda 1/2020 tentang RTRW. Di sisi lain, mereka mengklaim lahan yang sebelumnya sawah itu dibeli saat masih zona kuning atau bisa dibangun pemukiman. “Tapi kenapa ketika akan dibangun, justru berubah menjadi hijau,” tanya Sugeng, salah satu pengembang yang hadir.
Perda RTRW memang ada banyak perubahan. Pengesahan perda RTRW terbaru yang berjarak hampir 10 tahun dari perda sebelumnya, membuat kawasan pemukiman juga berubah begitu cepat. Dari awalnya hijau atau khusus untuk pertanian, justru berubah menjadi lahan kuning atau pemukiman lantaran perkembangan penduduk.
Di sisi lain, perda baru yang minim sosialisasi itu memang membuat pengembang kecele. Zona yang awalnya kuning justru menjadi hijau. “Kalau pun ada perubahan baru, harusnya ada sosialisai yang menyulurh kepada masyarakat,” kata Sugeng.
Perwakilan dari Bappeda Ari mengatakan, untuk Perda 1/2020 tentang RTRW itu sudah sesuai dengan tahapan, termasuk diantaranya tahapan sosilasiasi. ”Sudah kami sosialisasikan,” kata Ari usai rapat kemarin.
Ari menjelaskan memang perubahan perda baru itu banyak kawasan yang berbeda. “Tapi kami sendiri kurang hafal. Datanya ada di kantor. Yang pasti, dari waktu perubahan itu durasinya lama, hampir 10 tahun,” jelasnya.
Ketua Komisi III Agus Riyanto mengatakan, memang dari hasil RDP didapat dua kesalahan saat pertemuan tersebut. Diantaranya Bappeda kurang menyosialisasikan di jajaran internal dinas terkait perda RTRW. “Dan yang kedua pengembang setelah brsertifikat SHM tidak melakukan konfirmasi lagi apakah sertifikat yang dia beli masuk zona hijau atau kuning,” terangnya.
Karena itu, Komisi III DPRD memberikan rekomendasi terhadap dinas terkait. Di antaranya, meminta agar Bappeda segera membuat forum rencana detail tata ruang (RDTR) Kota Probolinggo, yang kemudian melibatkan masyarakat yang bermasalah, termasuk pengembang.
“Kemudian meminta sosialisai untuk ditingkakan kembali. Kemudian pengembang yang bermasalah bagaimana? Kami minta agar mengurus ke Bappeda, agar permasalahan itu bisa selesai,” terangnya. (rul/iwy)