Ratusan Warga Probolinggo Telantar di Pengungsian Papua
LECES – Kerusuhan yang pecah di Wamena, Papua, pada Senin (23/9) lalu tidak hanya merenggut nyawa 2 warga Leces, Kabupaten Probolinggo. Masih ada sekitar 100 orang warga asal Desa Jorongan, Leces, yang telantar sejak mengungsi sepekan lalu pasca kerusuhan.
Hal tersebut diungkapkan Solehudin salah satu dari 4 pengurus paguyuban warga Jawa-Madura di Wamena. Solehudin juga merupakan warga Leces, tepatnya berasal dari Desa Kerpangan.
Saat dihubungi Koran Pantura kemarin (30/9), Solehudin menyebutkan bahwa barak pengungsian terdapat di 3 titik, yakni di Masjid Agung, markas Polres dan markas Kodim Wamena. Menurut Solehudin, sedikitnya ada 100 orang asal Desa Jorongan yang nasibnya telantar.
“Lokasi pecahnya kerusuhan tepat berada di daerah permukiman warga asal Leces. Bahkan disana dikenal dengan istilah Kampung Polotan. Namun kampung itu kini sudah hancur dibakar dan seluruh warga pendatang kini mengungsi di tiga lokasi itu,” ungkap Solehudin, kemarin.
Menurutnya, kondisi ratusan pengungsi asal Kabupaten Probolinggo itu sangat memprihatinkan. Pasalnya, tak banyak yang dapat mereka bawa dan selamatkan ketika kerusuhan itu pecah. “Di pikiran kami, yang ada hanyalah pikiran, bagaimana bisa menyelamatkan diri. Namun beberapa rekan kami tak seberuntung kami dan jadi korban amukan kerusuhan itu,” katanya.
Kehidupan ratusan warga asal Kabupaten Probolinggo di pengungsian saat ini hanya bergantung pada belas kasih pemerintah daerah Wamena. Namun demikian, mereka juga tak tahu sampai kapan akan tinggal di pengungsian.
Solehudin mengatakan, untuk kembali ke permukiman mereka di Wamena, sudah tidak mungkin lagi.Sebab, tempat tinggal atau usaha mereka sudah hancur dibakar massa. Selain itu, mereka juga khawatir dengan keselamatannya kalau kembali.
“Daripada terus ketakutan, sebagaian besar memilih untuk bagaimana caranya pulang ke kampung halaman. Sebagaian lagi masih ada yang mencoba untuk bertahan dan kembali ke tempat usaha atau tinggal mereka untuk mencoba peruntungannya kembali,” sebutnya.
Namun kendala muncul ketika ratusan warga kabupaten Probolinggo itu memilih untuk kembali ke kampung halaman. Sebab, mereka terus mengalami penundaan dan ketidak-pastian jadwal kepulangan yang dsedianya difasilitasi pemerintah kabupaten Wamena,
“Kalau dari Sumatera Barat kemarin Bapak Wakil Gubernurnya sampai datang menjenguk dan menjemput warganya. Melihat hal itu, kami hanya bisa mengelus dada dan seakan seperti dianak-tirikan oleh daerah asal kami, yang tak memberikan perhatian sama sekali,” papar Solehudin.
Adanya keluhan tersebut pun sebenarnya sudah disampaikan kepada Kepala Desa Jorongan Kecamatan Leces Masuni. Ia mengaku selalu memantau kondisi ratusan warganya yang ada dipengungsian di Wamena.
“Saya sudah mengetahui hal itu. Tetapi, mau bagaimana lagi? Kami hanya lembaga pemerintah di tingkat desa. Jadi, untuk mengurus proses pemulangan ratusan warga kami itu, tentunya terlebih dahulu kami akan berkoordinasi dengan Pemkab Probolinggo,” sebutnya.
Upaya koordinasi pun coba dilakukan Pemdes Jorongan dengan cara segera mengajukan surat kepada Bupati, berisi permohonan bantuan pemulangan korban kerusuhan Wamena.
“Semoga surat permohonan kami itu segera mendapatkan respon positif dari Bupati. Mengingat kondisi warga disana yang mulai serba kekurangan dan tentunya menunggu kepastian dari pemerintah daerahnya,” katanya. (tm/iwy)