Istiqomah Mencerdaskan

Tercepat dan Terpercaya

Jamaludin menunjukkan hasil karya lukisannya yang terjual hingga ke Mancanegara. (Istimewa)
Pendidikan

Karya Seniman Tuna Daksa Tembus Pasar Mancanegara

Masih ada sebagian orang yang memandang sebelah mata kaum disabilitas, karena menggantungkan hidup para orang lain. Namun, itu tidak terjadi pada diri Jamaludin. Kendati seorang tuna daksa karena kecelakaan kerja, Jamaludin memilih jalan terhormat dengan membuka usaha.

Jamal. Begitu sapaan akrab Jamaludin, warga Kelurahan Patokan, Kraksaan Kabupaten Probolinggo ini. Pria ini menyukai seni rupa sejak ia menginjak bangku sekolah dasar. Bakat seninya tak tanggung. Ia bisa melukis, mengukir hingga memahat hingga terciptalah karya seni menarik. Walaupun, bakatnya sempat ditelantarkan saat ia lulus dari SMKN 1 Kraksaan.

Usai tuntas mengenyam pendidikan tingkat kejuruan, ia melanglang buana bekerja di sejumlah daerah. Ia pernah bekerja di hotel hingga perusahaan ekspor impor kayu di Surabaya.

Nama perusahaan terakhir itu adalah karir profesional terakhir baginya. Tahun 2008, ia mengalami kecelakaan kerja. Sebuah tiang penyangga retak dan hampir menimpa teman kerjanya. Ia bermaksud menolong temannya dengan menahannya.

Nahas. Jamal tidak sanggup. Di atas tiang itu terdapat besi seberat 1 ton dan menimpa bagian bawah tubuhnya. Kejadian itu membuat kakinya lumpuh. “Saya sekarang aktifitasnya hanya bisa menggunakan kursi roda,” tutur Jamal kepada Koran Pantura, Kamis (10/1).

Ia menyandang tuna daksa saat ia telah memiliki keluarga dengan seorang buah hati berusia 4 tahun. Istrinya yang merupakan warga Surabaya bekerja di bidang konveksi. “Sejak sembuh, saya sempat nganggur selama 8 bulan. Balik ke Kraksaan, setiap 3 hari sekali mengunjungi anak istri di Surabaya,” kisahnya.

Namun Jamal tidak patah semangat. Ia bertekad menjadi wirausahawan. Seni menjadi pelarian utamanya. Vakum belasan tahun tidak membuatnya lupa bagaimana berkreasi.

“Dulu saya sempat bisa membuat lukisan dari daur ulang sampah. Seperti pelepah pisang, kulit singkong, kulit kuaci dan lain-lain. Akhirnya saya memutuskan usaha itu,” ungkap pria yang saat ini berdomisili di Surabaya ini.

Ia mantap menjalankan usaha tersebut karena produk itu langka dan masih jarang dibuat oleh para seniman. Keyakinannya, setiap barang yang unik dan langka, maka akan lebih mudah mendapatkan pasar serta minim pesaing.

“Karena daur ulang sampah, biaya produksinya rendah. Harga jualnya juga cukup terjangkau untuk produk seni. Sekarang, setiap hari saya bisa buat 12 lukisan dari pelepah pisang ukuran 17×20 cm,” tutur bapak anak 1 ini.

Ia mematok harga jual terendah untuk karyanya sebesar Rp 100 ribu. Sedangkan rekor penjualannya Rp 6 juta untuk ukuran 1 meter persegi. “Tergantung kerumitan pembuatannya. Semakin rumit, semakin mahal,” ucap Jamal.

Jamal selalu memanfaatkan pameran seni. Tujuannya agar menambah luas pemasaran produknya. Dalam pameran, ada pembeli yang langsung bertransaksi saat pameran berlangsung. Ada pula yang menyimpan nomor telefpnnya dulu, lalu menghubungi Jamal di kemudian hari.

“Pernah saya dalam satu pameran menjual 43 karya. Keuntungan bersih waktu itu Rp 40 juta. Usaha saya paling sepi hasilnya Rp 10 juta – Rp 15 juta sebulan,” sebut Jamal.

Kini, produknya telah merambah lingkup Mancanegara. Ia pernah mengirim produknya ke Malaysia, Belanda, Italia, Jepang, Kanada hingga Amerika. “Bulan ini saya dapat pesanan 5 lukisan untuk dikirim ke Singapura,” bebernya.

Jamal menilai, disabilitas bukanlah akhir dari segalanya. Jika seseorang bisa mengoptimalkan potensi dalam dirinya sendiri, maka hal itu lebih baik dibandingkan berpangku tangan menerima nasib Ilahi.

“Saya paling sedih kalau melihat ada disabilitas mengemis. Kalau bertemu, saya beri motivasi dan saya ajak berkarya. Tidak ada yang mau hidup sebagai disabilitas, tapi jika takdirnya seperti itu, maka jalani dengan cara hidup yang mulia,” tutur Jamal. (awi/iwy)

Tinggalkan Balasan