Kakak-Adik Warga Kota Probolinggo Putus Sekolah
Titik Jayanti bersama ibu dan 3 putrinya menemui wartawan di rumahnya di Kelurahan Jati, kemarin (7/3). (Agus Purwoko/Koran Pantura)
PROBOLINGGO – Masih ada potret buram dunia pendidikan di Kota Probolinggo. Simak saja nasib keluarga Titik Jayanti (32), warga Jl Mayjen Hariyono Gg 10 RT 8 – RW 5 Kelurahan Jati, Kecamatan Mayangan. Dua dari 3 putri yang terlahir dari buah cintanya dengan suaminya, Beny Setyobudi, putus sekolah karena faktor ekonomi.
Aprilia (11) anak pertama, pernah mengenyam pendidikan di SDN Jati 4 dan SDN Triwung Kidul. Novalia, putri kedua, putus sekolah saat kelas 2 di SDN Assulthoniyah, Kelurahan Triwung Kidul, Kecamatan Kademangan. Sedangkan putri ketiga, Novilia (5) memang belum sekolah.
Saat ditemui di rumahnya kemarin (7/3), Titik membenarkan jika anak pertama dan keduanya sudah tidak sekolah lagi. Alasannya, selain tak memiliki biaya dan sering pindah-pindah, Aprilia kesehariannya merawat sekaligus menemani adiknya. Sedangkan Novalia putus sekolah, karena mengikuti jejak kakaknya, Aprilia.
Titik mengaku jarang di rumah karena mencari nafkah untuk menghidupi tiga putri dan ibunya, Jumaiyah, yang sakit lambung. Maklum, sang suami, Beny, yang pekerjaannya driver bus antar kota dalam provinsi, sudah 4 tahun menghilang.
Pria itu tidak pernah menjenguk istri dan tiga buah hatinya. Karena itu, Titik yang kini mendapat penghasilan dari membantu tetanggannya mencuci dan bersih-bersih, memilih tinggal di rumah ibunya di Kelurahan Jati.
Sebelumnya, Titik tinggal di Kelurahan Triwung Kidul, ikut suaminya. Menjelang hari raya tahun lalu, ia pindah sekaligus merawat dan menjaga ibunya. Titik mengaku pernah menemui suaminya yang kini hidup dengan perempuan lain di Jember. “Saya ngomong ke pak RT sana, kalau saya istri sahnya. Kata pak RT, kawin sirri,” ujarnya.
Titik mengaku pernah meminta cerai. Namun, kesanggupan suaminya untuk menceraikan tak pernah dipenuhi. Perempuan yang lahir dan besar di Kelurahan Jati ini berkeinginan gugat cerai. Tetapi lagi-lagi keinginannya terkendala dana. “Uang dari mana saya? Untuk belanja saja, kurang,” katanya.
Di tempat tinggal yang baru, Titik mengais nafkah dari pekerjaan membantu tetangganya. Seperti mencuci, memasak dan bersih-bersih. Bayarannya tentu tidak menentu. “Ya cukup untuk makan. Kami kadang diberi makanan,” tambahnya.
Meski hidupnya susah secara ekonomi, Titik mau menyekolahkan anaknya lagi kalau memang benar-benar gratis. Ini seperti program sekolah gratis yang dicanangkan Walikota Probolinggo Habib Hadi Zainal Abidin dan Wawali HMS Subri.
Niatan tersebut akan diwujudkan Titik saat tahun pelajaran baru nanti. “Kalau memang gratis, ya kami sekolahkan. Biar anak saya seperti anak-anak yang lain,” imbuh Titik.
Mengenai sakit ibunya, Titik tidak khawatir. Sebab, Jumaiyah sudah dibiayai oleh perusahaan tempatnya bekerja sebagai tukang masak.
Sedangkan Titik belum pernah menerima bantuan apapun dari pemerintah. Sebab, dirinya masih ber-KTP Triwung Kidul. Titik mengaku masih mengurus kepindahannya. Dan jika sudah resmi menjadi warga Jati, dirinya akan melapor ke RT dan kelurahan setempat. “Saat kami tinggal di Kelurahan Triwung Kidul, tidak pernah dapat bantuan,” katanya. (gus/iwy)