Singkirkan Minder, Ingin jadi Guru
KRAKSAAN – Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk tingkat SMA sederajat tahun ini tidak hanya diikuti oleh sekolah umum saja. Ujian serupa juga dilaksanakan oleh Sekolah Luar Biasa (SLB). Termasuk oleh SLB Dharma Asih Kraksaan yang memiliki 4 siswa kelas XII. Terdiri dari 3 tuna netra dan 1 tuna grahita.
SLB itu terletak di utara alun-alun Kota Kraksaan. Gedungnya berada persis di barat Gedung Islamic Center Kraksaan. Setelah melewati pintu masuk, di sisi kiri depan terdapat barisan ruang guru. Masuk lebih ke dalam lagi merupakan asrama bagi siswa penyandang disabilitas.
Di ujung paling selatan, terlihatlah ruang-ruang kelas. Di salah satu ruang itu, sedang digelar UASBN bagi kelas XIII atau kelas 3 SMA. Kemarin (4/3) Koran Pantura masuk ke dalam salah satu kelas. Yakni kelas khusus penyandang tuna netra. Ada 3 siswa di dalamnya dengan seorang guru yang mendampinginya. Baik siswa dan guru tersebut adalah penyandang tuna netra.
Devi Nur Samsi (23) adalah salah satu siswa yang mengikuti ujian tersebut. Berbekal fasilitas laptop yang didesain khusus, jari-jarinya sudah lumayan mahir menyentuh keyboard laptop tersebut. Gerakan itu berfungsi 2 hal sekaligus: membaca dan menulis. “Tadi mengerjakan soal PAI dan Bahasa Indonesia. Soal ada 40 untuk PAI dan 35 untuk bahasa Indonesia,” kata Devi.
Para siswa mengikuti ujian sejak pukul 07.00 hingga pukul 12.00. Waktu itu dibagi 2 sesi, dengan 1 istirahat di tengah kedua sesi tersebut. “Alhamdulillah, lancar dan bisa ngerjakan semua soal,” ujar warga Desa Sidodadi, Kecamatan Paiton ini.
Devi tiap hari diantar jemput oleh keluarga. Kendati di rumah hanya beristirahat dan tidak bisa bermain seaktif remaja normal lainnya, Devi menghabiskan waktunya di rumah dengan hal yang positif. “Saya baca buku di rumah. Termasuk hasil pelajaran di sekolah pagi harinya,” ungkapnya.
Siswa lainnya, Chusnul Chotimah (21) menerangkan, saat SD ia belajar di SDLB Negeri Semampir (sekarang SLBN Kraksaan Desa Asembakor, red). Lalu meneruskan SMP dan SMA di SLB Dharma Asih Kraksaan. “Saya masuk SD umur 8 tahun. Sekarang tinggal di asrama,” kata Chusnul.
Menurut Chusnul, terkadang sifat minder muncul sesaat. Sebab, dia tidak bisa belajar dan bermain seperti remaja pada umumnya. Namun gadis asal Desa Alaskandang, Kecamatan Besuk ini selalu menghilangkan pikiran itu jauh-jauh.
“Dari SD saya tinggal di asrama, gak tinggal sama orang tua. Jadi sudah ada bekal. Sempat ada rasa minder, tapi saya kembalikan bahwa ini semua takdir. Keadaannya begini, tergantung saya aja gimana cara biar gak minder lagi,” paparnya seraya tersenyum.
Mohammad Ansori (26), siswa asal desa Besuk Agung Kecamatan Besuk juga senada dengan Chusnul. Menurutnya, minder tidak akan menyelesaikan permasalahan, justru menjadi penghambat.
Ia bersama 2 rekannya sesama tuna netra di kelas itu memiliki impian besar. Mereka ingin berpendidikan tinggi. Ketika ditanya tentang cita-citanya, mereka kompak menjawab. “Ingin jadi guru,” tegas Ansori diamini Chusnul dan Devi.
“Karena guru tuna netra itu sedikit. Sementara anak tuna netra makin banyak. Kalau tidak ada yang mendidik dari sesama tuna netra, terus bagaimana. Kan kasihan,” terangnya.
Guru kelas tuna netra SLB Dharma Asih Kraksaan Arizky Perdana Kusuma menyebut, jadwal UASBN SMA sederajat digelar pada 4-11 Maret 2019. Sedangkan Ujian Nasional (UN) bakal digelar April mendatang. “Di sini yang ikut UASBN kelas XII ada 4 orang. Terdiri dari 3 siswa tuna netra dan 1 tuna grahita,” sebut Rizky.
Pria 32 tahun ini menjelaskan, mendidik siswa tuna netra gampang-gampang susah. Awalnya, Rizky mengidentifikasi setiap siswa. Mulai dari potensi hambatan dan kebutuhan setiap siswa.
“Baru bisa bikin program. Seperti ada yang suka buku braille, ada yang suka audio book. Ibarat melatih pelari, kalo ngikutin yang larinya kencang, kasihan yang lambat. Kalau ikut yang lambat, kasihan yang kencang. Materinya jangan disamakan. Malah harus pintar-pintar menyesuaikan,” beber warga Kelurahan/Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo ini.
Mengenai cita-cita seluruh siswanya yang ingin menjadi guru, Rizky menilainya cukup wajar. Pasalnya, para siswa melihat pada sosok Rizky sebagai gurunya. Namun, dalam pengajarannya, ia tidak pernah menekan siswa untuk terpaku pada satu cita-cita saja.
“Yang terpenting adalah jangan sampai membebani orang sekitarnya. Bahkan kalau bisa malah memberdayakan orang lain. Jadi guru boleh, pengusaha monggo, jadi konsultan silahkan. Toh, rejeki tidak harus dengan jadi guru saja,” tegasnya. (awi/eem)