Langka, Taat Divonis Nihil

Dimas Kanjeng Taat Pribadi saat menjalani sidangnya di PN Kraksaan beberapa waktu lalu. (Dokumen/Koran Pantura)
SURABAYA – Ada kejadian langka dalam persidangan Dimas Kanjeng Taat Pribadi (DKTP), kemarin (5/12) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Meski dinyatakan bersalah dalam perkara penipuan-penggelapan senilai Rp 10 miliar, Taat Pribadi divonis nihil atau tanpa hukuman sama sekali.
Sidang itu kemarin dipimpin ketua majelis hakim Anne Rusiana. “Mengadili, menyatakan terdakwa Dimas Kanjeng Taat Pribadi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan melawan hukum dalam tindak pidana penipuan sesuai pasal 378 KUHP,” kata hakim Anne yang kemudian menyatakan menjatuhkan hukuman nihil pada terdakwa Taat Pribadi.
Vonis nihil ini langsung direaksi jaksa penuntut umum (JPU) dengan menyatakan banding. Maklum, dalam sidang sebelumnya, JPU menuntut hukuman penjara 4 tahun untuk Taat Pribadi yang merupakan pemimpin Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi (PDKTP) di Desa Wangkal, Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo.
Dalam amar putusan hakim, Taat Pribadi atau DKTP dinyatakan terbukti merugikan Mohammad Ali, mantan penasehat hukumnya sendiri. Nilai kerugian saat kasus ini mencuat pada 2016 disebutkan mencapai Rp 35 miliar. Tetapi saat kasus ini disidangkan di PN Surabaya, nilai kerugian Ali disebut senilai Rp 10 miliar.
Lantas mengapa hakim menjatuhkan vonis nihil kepada Taat Pribadi? Hakim Anne Rusiana menjelaskan, sebelum kasus ini diputuskan, terdakwa sudah mendapat vonis penjara untuk kasus pembunuhan selama 18 tahun, dan vonis kasus penipuan selama 3 tahun. Jadi, saat ini Taat Pribadi sudah mendapat akumulasi vonis hukuman 21 tahun penjara.
Menurut hakim Anne, atas dasar itulah putusan nihil dijatuhkan. Alasan ini disebutkan sesuai dengan Pasal 66 KUHP ayat 1, yaitu “dalam gabungan dari beberapa perbuatan tersendiri dan masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang tidak sejenis, maka tiap-tiap hukuman itu dijatuhkan, akan tetapi jumlah hukumannya tidak boleh melebihi hukuman yang terberat sekali ditambah dengan sepertiganya.”
Namun, putusan ini ternyata menuai keberatan dari JPU dalam kasus Taat Pribadi. JPU Rakhmat Hari Basuki mengatakan pihaknya mengajukan tuntutan 4 tahun penjara dan merasa keberatan dengan vonis tersebut. “Kami pasti akan mengajukan (banding), karena kami menilai terdakwa masih dapat dihukum lagi,” jelas Hari Basuki.
Rakhmat menghormati putusan hakim yang mengacu pada hukum positif. Bahwa UU secara kumulatif tidak memperbolehkan hukuman melebihi dari 20 tahun. “Tetapi kami punya pertimbangan sendiri tentang tuntutan kepada terdakwa,” jelasnya.
Sementara itu, advokat yang juga Kepala Desa Penambangan Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo Hasanuddin berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan dijatuhkannya vonis nihil dalam perkara Taat Pribadi. Sebaliknya, tidak salah juga jika hakim menjatuhkan hukuman lagi.
“Kalau berdasarkan teorinya memang sudah pas dengan putusan demikian. Namun setidaknya hakim bukan hanya melihat hukum dari sekedar Undang-Undang an-sich, melainkan hakim bisa menggali hukum dari nilai-nilai kemasyarakatan. Artinya, kalau hakim dalam memberikan putusan melebihi ketentuan peraturan perundangan-undangan diperkenankan selama putusan itu dianggap mengadopsi nilai-nilai masyarakat yang kemudian bisa disebut sebagai rechfonding,” jelas Hasanuddin.
Sedangkan dalam penelusuran Koran Pantura, vonis nihil juga pernah terjadi pada kasus narkoba di Sulawesi Selatan. Terdakwa Amiruddin alias Amir aco alias Rahman divonis nihil karena telah disidangkan beberapa kali dalam dakwaan berbeda. Salah satu persidangan yang dijalaninya telah memutuskan hukuman mati, sehingga pada persidangan Agustus lalu, hakim menjatuhkan vonis nihil kepada terdakwa Amiruddin. (ra/iwy)